Tuesday, 21 April 2015

Aku adalah wadah yang di tempa oleh rasa sakitku

Aku ini hanya seorang hamba yg tak tahu apa-apa.
Aku bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa
Aku hanya mencoba utk merenungi diri, mensyukuri atas segala nikmat yg berlimpah yg telah dikaruniakan oleh-MU dan mencoba untuk tetap bersyukur dalam mencari ridho-MU.
Agar senantiasa mendapat rahmat dan hidayah dari-MU ya Rabb'ku...!



BUKALAH JENDELA HATI KITA UNTUK MENERIMA SETIAP KEBENARAN WALAU DARI MANAPUN IA DATANG.
KATA DEMI KATA YG TERSUSUN AKAN SANGAT MUDAH DIPAHAMI DAN DIMENGERTI.
BILA KITA MAU SEJENAK MERENUNGKANNYA!
INGATLAH, BAHWA WARNA BISA LUNTUR, CANDI BISA RETAK, KEKUASAAN BISA JATUH,
TETAPI KATA-KATA BIJAK, AKAN TETAP ABADI SEPANJANG ZAMAN

'ANTON CHARLY'

Monday, 20 April 2015

BUKAN MAKSUDKU UNTUK MENINGGALKANMU

Malam benderang berhiaskan bulan. Seorang anak berdiri di balkon sebuah rumah, berpangku-tangan menatap dan mengagumi langit. Namun sayang,...bintang hanya sedikit bersinar. Sang anak melihat ke sekeliling, mencari bintang lain. Hanya dua. Hanya ada dua bintang di langit. Itu pun tidak sepenuhnya bintang, salah satu diantaranya adalah planet Venus.

Sang anak kemudian bertanya, “Wahai bintang, apa yang terjadi padamu? Pada kalian? Pergi ke mana gerangan seluruh temanmu?” Anak itu berbisik sedih. Dahulu langit berkilau tiada tara, bermandikan cahaya bintang, dengan bulan tersenyum anggun menaungi. Dahulu bintang-bintang menemaninya bercanda dan tertawa di kala kesepian datang berkunjung di malam hari. Dahulu bintang-bintang akan menjaga dan mengawasinya kala ia lelap terbuai alunan nada mimpi. Namun sekarang hanya sedikit bintang berdendang, memainkan cahaya dengan genit. Bahkan nyaris tidak ada.


Tiba-tiba, tanpa disangka oleh gumaman hati, sang bintang menjawab dengan lirih,......
“wahai anakku sayang, bukan maksudku untuk meninggalkanmu seorang diri bermandikan kegelapan. Tidak, aku tetap menyayangimu. Namun apa mau dikata, satu per satu sudah kehilangan zat hidupnya.”

Anak itu tertegun, diam membisu. Wajahnya berkerut, tanda ia sedang berpikir keras memproses perkataan sang bintang cemerlang. “Apa maksudmu, bintang oh bintang?”

“Aku, bintang, hanyalah dari manusia, nak. Aku ada dan tercipta, itu semua hanyalah symbol, symbol dari harapan kehidupan manusia.”
“Maksudmu manusia sekarang sudah tidak memiliki harapan hidup?” Mendengar pertanyaan polos itu, bintang hanya dapat tersenyum pedih. Sinarnya berpendar redup, sudah tidak lagi kuat menyinari langit tanpa ditemani teman-temannya.

“Lalu, mengapa planet venus tetap bersinar terang sebagaimana
layaknya bintang? Apakah dia juga merupakan symbol seperti kau, bintang?”

“Semua, kami benda di langit adalah symbol yang merepresentasikan kalian manusia… Iya, sebagaimana katamu tadi, wahai anakku sayang, planet Venus memang merupakan symbol seperti kami para bintang.”
“Kau belum menjawabku, bintang cemerlang, mengapa Venus bersinar, tak seperti kalian bintang yang perlahan menghilang?”
“Seperti kukatakan tadi, aku dan para bintang merepresentasikan harapan kehidupan kalian, manusia. Venus, dia melambangkan cinta. Tidak peduli seperti apa perkembangan peradaban kalian sekarang, kalian manusia tetap akan mendambakan cinta, kalian akan tetap memuja dan mencintai cinta.
Cinta di hati kalian tidak akan pernah sirna, hingga kapan pun. Walaupun memang, dari atas sini, kami mampu melihat perang yang terjadi, berkecamuk kejam membantai dan membabat setiap jiwa hingga tercecer tak bertuan lagi. Namun kami, terutama Venus, merasakan dan menyadari, sekejam apa pun kalian manusia bisa menjadi, tetap ada sepercik rasa di hati kalian untuk ingin dicintai dan mencintai. Aku rasa kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu, nak…”

“Lalu bagaimana dengan bulan? Dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu dan selalu berganti-ganti…”

“Bulan… Bulan melambangkan kalian manusia, tidakkah kau menyadari hal itu, nak?”
“Tetapi dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu, tidak banyak layaknya kalian, kau, wahai bintang benderang…”
“Bulan melambangkan manusia dengan dirinya. Selalu bergerak dan berubah. Terkadang yakin dan penuh tekad sebagaimana bulan purnama, seringkali ragu dan malu layaknya bulan sabit. Bahkan kadang menghilang untuk merenung dan berpikir layaknya bulan baru. Itulah kalian dengan diri kalian, wahai manusia…”

“Wahai bintang, kalau begitu tolong jelaskan kepadaku makna daripada keberadaanmu. Kau hanya berkata kalian para bintang menggambarkan harapan kehidupan manusia… Apakah berarti kau menggambarkan jiwa manusia?”

Sang bintang menarik napas panjang sebelum memulai, tentu hal ini berat baginya untuk dikatakan. Mengingat bagaimana hal ini tentunya menyangkut dengan dirinya, sebagaimana ia yakin usianya tak akan lama lagi.
Akhirnya dengan senyum pahit, bintang mulai menjelaskan, “Aku dan para bintang, merepresentasikan harapan kehidupan kalian manusia. Bukanlah menggambarkan jiwa kalian, tidak.
Namun harapan kehidupan. Sekarang ini, sudah banyak manusia yang telah kehilangan harapan akan kehidupan. Mereka hanya merencanakan dan merencanakan masa depan.
Mereka berpikir mereka harus mengendalikan masa depannya, bahwa masa depan itu tidak pernah ada bila tidak mereka rancang. Mereka tidak pernah benar-benar hidup. Bagi mereka, merancang masa depan adalah suatu hal untuk tetap menghidupkan mereka, tetapi mereka salah, nak, mereka salah...!
Mereka itulah sang pemimpi, merekalah yang tidak melihat kenyataan.

“Aku beri tahu kau suatu rahasia, nak, masa depan itu memang tidak ada, tidak pernah ada. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba, masa depan hanyalah sebuah angan-angan.
Saat inilah yang terpenting!
Saat inilah realita yang harus dihadapi. Namun inilah yang mereka hindari. Mereka mempersiapkan diri untuk masa depan, tetapi mereka kemudian tidak melakukan apa pun untuk saat ini, masa-masa yang mengikat dan menghantam, tetapi tak dihiraukan karena sakit yang ditimbulkannya.
Manusia sekarang hanyalah merencanakan masa depan, alih-alih menjalani masa kini. Mereka tidak lagi percaya pada harapan yang luas terbentang di depan mata mereka, sebagaimana apa yang masih kau lihat, nak… Itulah harapan kehidupan, disimbolkan oleh kami para bintang.”

Anak itu menunduk, ia berpikir keras. Ia tidak mau kehilangan sang bintang yang selalu menemaninya. Baginya bintang adalah sahabat yang tak terkatakan. “Bintang, apakah kau akan selalu ada di sini untukku? Apakah kau berjanji untuk tidak meninggalkanku sendirian?” Tanya anak itu dengan pilu, air mata sudah mulai menggenangi matanya. Rasa takut akan kesepian terlukis dengan jelas di bola matanya yang bulat dan besar.

Sekali lagi, sang bintang hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan polos lain dari anak itu. Bintang hanya bisa menjawab tanpa benar-benar memenuhi pertanyaan tersebut, “aku akan berada di sini untuk beberapa lama, tetapi aku akan menjadi bintang terakhir yang kau lihat untuk beberapa tahun lagi…”

Lama waktu berlalu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Sudah berpuluh-puluh musim terlewati. Terlewati begitu saja tanpa kesan yang benar-benar berarti. Langit di pagi hari tetap secerah biasanya, matahari yang tertawa bersama awan memancarkan sinarnya di seluruh penjuru dunia, memanaskan setiap titik yang bisa disentuhnya. Namun satu hal yang berubah, langit di malam hari sudah tidak pernah sama lagi. Tiada lagi bisik-bisik kecil nan genit dari para bintang yang berdendang. Tiada lagi kilau cemerlang mengagumkan menaburi langit. Sekarang hanya tinggal bulan dan Venus, berselimutkan gelap gulita dari malam, serta karpet berkilau dari lampu-lampu jalanan hasil peradaban manusia.

        salam
.:Bintang Malam:.

"FITNAH" lebih kejam daripada pembunuhan?


Allah Ta’ala berfirman:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 191)
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS Al-Baqarah: 217)

Sebagian kalangan mentafsirkan ayat ini layaknya mentafsirkan bahasa Indonesia. Yaitu, fitnah yang berarti tuduh-menuduh itu lebih keji dan kejam daripada pembunuhan. Daalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.3) ketika kita meng-entri kata “fit·nah”, maka akan kita dapati demikian
“perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dng maksud menjelekkan orang (spt menodai nama baik, merugikan kehormatan orang): – adalah perbuatan yg tidak terpuji;
mem·fit·nah atau menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dsb.”
Maka ketika terjadi pertikaian berupa tuduh-tuduhan yang tidak mengenakkkan, orang dituduh akan serta-merta mengeluarkan dalil firman Allah di atas. “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”
Namun benarkah demikian makna fitnah yang diinginkan Allah dalam ayat ini? Ataukah ada makna lainnya?
Baiklah, agar supaya kita tidak terjerumus ke dalam ancaman, “Siapa yang berkata tentang Al-Quran dengan akalnya (dalam riwayat lain: dengan sesuatu yang tidak ia ketahui), maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka,” mari kita telusuri pendapat para ulama yang pakar dalam disiplin ilmu tafsir.
Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahak, dan Ar-Rabi’ bin Anas berpendapat tentang firman-Nya, “Dan fitnah itu lebih dahsyat dari pembunuhan,”: “Kemusyrikan itu lebih dahsyat daripada pembunuhan.”

Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani Asy-Syafi’i –rahimahullah- menjelaskan dlam tafsirnya (I/64), “{Dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan}, yaitu ujian yang dengannya seseorang teruji seperti dikeluarkan dari tanah air, itu lebih berat daripada pembunuhan. Sebab, susahnya lebih lama dan sisa sakitnya lebih lama. Ada yang berpendapat: kemusyrikan kalian terhadap Allah dan peribadatan kepada berhala-berhala di tanah haram itu serta pencegahan kalian terhadap kaum muslimin darinya (baca: dari tanah haram) lebih jelek daripada kalian membunuh mereka di dalamnya.”
Berkaitan dengan ayat ke-217, Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir menjelaskan:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ أي قد كانوا يفتنون المسلم في دينه حتى يردوه إلى الكفر بعد إيمانه فذلك أكبر عند الله من القتل
“{Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}, artinya mereka telah menganggu agama seorang muslim sehingga mereka mengembailkanya kepada kekufuran setelah keimanannya, maka yang demikian itu lebih besar (dosanya) menurut Allah.”

Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan, “{Dan fitnah itu} yaitu kemusyrikan yang melekat pada kalian itu {lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}.”
Al-‘Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qinnuji Al-Bukhari –rahmatullah ‘alaih- menjelaskan, “{Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}. Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah kekufuran dan kemusyrikan. Yang mengatakan demikian adalah Ibnu ‘Umar. Artinya, kekufuran kalian itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan yang kalian lancarkan kepada sarriyyah (pasukan perang yang tidak diikuti Nabi) yang diutus oleh Nabi –shallallahu ‘alahi wa sallam-. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud fitnah di sini adalah mengeluarkan penduduk Makkah darinya (baca: dari Makkah). Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah gangguan yang mereka lancarkan terhadap agama mereka (kaum muslimin) sehingga mereka binasa, maksudnya fitnah yang ditujukan kepada orang-orang lemah dari kalangan kaum mukminin, fitnah yang sama dengan fitnahnya kaum kuffar yang tengah mereka pijaki.” (Fat-h Al-Bayan ‘an Maqashid Al-Quran I/436)
Sampai di sini kita dapat menyadari tidak ada satu pun ulama pakar tafsir yang memahami fitnah di sini sebagaimana yang dipahami oleh sementara sebagian kalangan. Dan perlu diketahui bahwa fitnah dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa ‘Arab. Fitnah dalam bahasa Indonesia biasa diwakili kata “buhtan” dalam bahasa ‘Arab. Sedangkan fitnah dalam bahasa ‘Arab memiliki arti yang tidak sedikit. Di antaranya adalah: cobaan, ujian, musibah, azab, dan selainnya.
Allahua’lam.

Tuesday, 14 April 2015

BATAVIAN MUSIC CULTURE

Introducing Tanjidor - One of the tribes who live in Jakarta is betawi tribe. Betawi word comes from the word "Batavia" which is the former name of Jakarta. Betawi tribe was born in 1923 beginning with the establishment Perkoempoelan Kaoem Betawi. This is known because during the colonial era, including the Dutch who diligently conducting a census, but by then the existence of Interest Betawi still not listed in the census. Interest actually turned out to previously existing Betawi, but not yet organized. 


The Existing of Perkumpulan Betawi

So with his existing Perkoempoelan Kaoem Betawi, recognized the existence of Interest Betawi start. Since then the Arts Orchestra Tanjidor began to expand along with the existence Perkoempoelan Kaoem Betawi. Betawi tribe is a mix of various ethnic groups such as Javanese, Sundanese, Malay, Sumbawa, Ambon and Chinese. The combination is evident in the dielectric and a wide range of arts Betawi Betawi. Betawi arts such as Gambang Kromong, Tambourine, and Tanjidor Keroncong monument. Kromo xylophone is a musical art that is still linked to Chinese tradition while Rebana related to Arab art music. This attachment is shown in the form of music and tone of the instrument by instrument kelurkan the music. Portuguese art is set for the Keroncong monument.

Photo by: Deniek G. Sukarya

The History of Tanjidor

Tanjidor is One of Indonesia's cultural wealth is owned exclusively ethnic Betawi people are still shades of the Netherlands. But there is also the argument that Portugal Art is the background for the emergence of Tanjidor.Namun if we question when in fact this Tanjidor Art born? So the answer is at the time of colonization Belanda.Ternyata Art Tanjidor born before slavery was abolished in the late 18th century. Tanjidor originally played by Dutch slaves. When the Dutch came to power, its officials have houses scattered around Batavia. So the slaves also was assigned there. In his spare time, slaves were often playing a music in a group.

Tanjidor Orchestra Batavian Music Culture


Tanjidor is the art of music played by a group of people. It is often called Tanjidor Orchestra. Tanjidor orchestra evolved since the 19th century after the rise in Perkoempolan Kaoen Betawi.
Tanjidor consists of piston, trombone, tenor, clarinet, bass, and drums. Piston, tombon, tenor, and bass clarinet is a wind instrument, the alar sendangkan drum percussion. When we went to Jakarta, her special interest in a residential area Betawi, we will find the Betawi wedding ceremony accompanied by the Orchestra Tanjidor.

Tanjidor Performing as Batavian Music Culture

Tanjdor orchestra frequently played folk songs such as barley. In addition to marriage, some events are generally dimeriahan by Orchestra Tanjidor is circumcision, public events such as Indonesia and kemerekaan commemorate the new year both AD and Lunar. In the event Orchestra tanjidor generally around while playing music that is often called ngamen.Ngamen done by walking barefoot.