Malam benderang berhiaskan bulan. Seorang anak berdiri di balkon sebuah rumah, berpangku-tangan menatap dan mengagumi langit. Namun sayang,...bintang hanya sedikit bersinar. Sang anak melihat ke sekeliling, mencari bintang lain. Hanya dua. Hanya ada dua bintang di langit. Itu pun tidak sepenuhnya bintang, salah satu diantaranya adalah planet Venus.
Sang anak kemudian bertanya, “Wahai bintang, apa yang terjadi padamu? Pada kalian? Pergi ke mana gerangan seluruh temanmu?” Anak itu berbisik sedih. Dahulu langit berkilau tiada tara, bermandikan cahaya bintang, dengan bulan tersenyum anggun menaungi. Dahulu bintang-bintang menemaninya bercanda dan tertawa di kala kesepian datang berkunjung di malam hari. Dahulu bintang-bintang akan menjaga dan mengawasinya kala ia lelap terbuai alunan nada mimpi. Namun sekarang hanya sedikit bintang berdendang, memainkan cahaya dengan genit. Bahkan nyaris tidak ada.
Tiba-tiba, tanpa disangka oleh gumaman hati, sang bintang menjawab dengan lirih,......
“wahai anakku sayang, bukan maksudku untuk meninggalkanmu seorang diri bermandikan kegelapan. Tidak, aku tetap menyayangimu. Namun apa mau dikata, satu per satu sudah kehilangan zat hidupnya.”
Anak itu tertegun, diam membisu. Wajahnya berkerut, tanda ia sedang berpikir keras memproses perkataan sang bintang cemerlang. “Apa maksudmu, bintang oh bintang?”
“Aku, bintang, hanyalah dari manusia, nak. Aku ada dan tercipta, itu semua hanyalah symbol, symbol dari harapan kehidupan manusia.”
“Maksudmu manusia sekarang sudah tidak memiliki harapan hidup?” Mendengar pertanyaan polos itu, bintang hanya dapat tersenyum pedih. Sinarnya berpendar redup, sudah tidak lagi kuat menyinari langit tanpa ditemani teman-temannya.
“Lalu, mengapa planet venus tetap bersinar terang sebagaimana
layaknya bintang? Apakah dia juga merupakan symbol seperti kau, bintang?”
“Semua, kami benda di langit adalah symbol yang merepresentasikan kalian manusia… Iya, sebagaimana katamu tadi, wahai anakku sayang, planet Venus memang merupakan symbol seperti kami para bintang.”
“Kau belum menjawabku, bintang cemerlang, mengapa Venus bersinar, tak seperti kalian bintang yang perlahan menghilang?”
“Seperti kukatakan tadi, aku dan para bintang merepresentasikan harapan kehidupan kalian, manusia. Venus, dia melambangkan cinta. Tidak peduli seperti apa perkembangan peradaban kalian sekarang, kalian manusia tetap akan mendambakan cinta, kalian akan tetap memuja dan mencintai cinta.
Cinta di hati kalian tidak akan pernah sirna, hingga kapan pun. Walaupun memang, dari atas sini, kami mampu melihat perang yang terjadi, berkecamuk kejam membantai dan membabat setiap jiwa hingga tercecer tak bertuan lagi. Namun kami, terutama Venus, merasakan dan menyadari, sekejam apa pun kalian manusia bisa menjadi, tetap ada sepercik rasa di hati kalian untuk ingin dicintai dan mencintai. Aku rasa kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu, nak…”
“Lalu bagaimana dengan bulan? Dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu dan selalu berganti-ganti…”
“Bulan… Bulan melambangkan kalian manusia, tidakkah kau menyadari hal itu, nak?”
“Tetapi dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu, tidak banyak layaknya kalian, kau, wahai bintang benderang…”
“Bulan melambangkan manusia dengan dirinya. Selalu bergerak dan berubah. Terkadang yakin dan penuh tekad sebagaimana bulan purnama, seringkali ragu dan malu layaknya bulan sabit. Bahkan kadang menghilang untuk merenung dan berpikir layaknya bulan baru. Itulah kalian dengan diri kalian, wahai manusia…”
“Wahai bintang, kalau begitu tolong jelaskan kepadaku makna daripada keberadaanmu. Kau hanya berkata kalian para bintang menggambarkan harapan kehidupan manusia… Apakah berarti kau menggambarkan jiwa manusia?”
Sang bintang menarik napas panjang sebelum memulai, tentu hal ini berat baginya untuk dikatakan. Mengingat bagaimana hal ini tentunya menyangkut dengan dirinya, sebagaimana ia yakin usianya tak akan lama lagi.
Akhirnya dengan senyum pahit, bintang mulai menjelaskan, “Aku dan para bintang, merepresentasikan harapan kehidupan kalian manusia. Bukanlah menggambarkan jiwa kalian, tidak.
Namun harapan kehidupan. Sekarang ini, sudah banyak manusia yang telah kehilangan harapan akan kehidupan. Mereka hanya merencanakan dan merencanakan masa depan.
Mereka berpikir mereka harus mengendalikan masa depannya, bahwa masa depan itu tidak pernah ada bila tidak mereka rancang. Mereka tidak pernah benar-benar hidup. Bagi mereka, merancang masa depan adalah suatu hal untuk tetap menghidupkan mereka, tetapi mereka salah, nak, mereka salah...!
Mereka itulah sang pemimpi, merekalah yang tidak melihat kenyataan.
“Aku beri tahu kau suatu rahasia, nak, masa depan itu memang tidak ada, tidak pernah ada. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba, masa depan hanyalah sebuah angan-angan.
Saat inilah yang terpenting!
Saat inilah realita yang harus dihadapi. Namun inilah yang mereka hindari. Mereka mempersiapkan diri untuk masa depan, tetapi mereka kemudian tidak melakukan apa pun untuk saat ini, masa-masa yang mengikat dan menghantam, tetapi tak dihiraukan karena sakit yang ditimbulkannya.
Manusia sekarang hanyalah merencanakan masa depan, alih-alih menjalani masa kini. Mereka tidak lagi percaya pada harapan yang luas terbentang di depan mata mereka, sebagaimana apa yang masih kau lihat, nak… Itulah harapan kehidupan, disimbolkan oleh kami para bintang.”
Anak itu menunduk, ia berpikir keras. Ia tidak mau kehilangan sang bintang yang selalu menemaninya. Baginya bintang adalah sahabat yang tak terkatakan. “Bintang, apakah kau akan selalu ada di sini untukku? Apakah kau berjanji untuk tidak meninggalkanku sendirian?” Tanya anak itu dengan pilu, air mata sudah mulai menggenangi matanya. Rasa takut akan kesepian terlukis dengan jelas di bola matanya yang bulat dan besar.
Sekali lagi, sang bintang hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan polos lain dari anak itu. Bintang hanya bisa menjawab tanpa benar-benar memenuhi pertanyaan tersebut, “aku akan berada di sini untuk beberapa lama, tetapi aku akan menjadi bintang terakhir yang kau lihat untuk beberapa tahun lagi…”
Lama waktu berlalu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Sudah berpuluh-puluh musim terlewati. Terlewati begitu saja tanpa kesan yang benar-benar berarti. Langit di pagi hari tetap secerah biasanya, matahari yang tertawa bersama awan memancarkan sinarnya di seluruh penjuru dunia, memanaskan setiap titik yang bisa disentuhnya. Namun satu hal yang berubah, langit di malam hari sudah tidak pernah sama lagi. Tiada lagi bisik-bisik kecil nan genit dari para bintang yang berdendang. Tiada lagi kilau cemerlang mengagumkan menaburi langit. Sekarang hanya tinggal bulan dan Venus, berselimutkan gelap gulita dari malam, serta karpet berkilau dari lampu-lampu jalanan hasil peradaban manusia.
salam
.:Bintang Malam:.