Wednesday 18 May 2016

SEGERALAH BERHIJRAH MENUJU KEBAIKAN

Bismillah.... 

Segera bertobat sebelum ajal tiba... 

Segera kerjakan sholat sebelum berkurang keberkahan waktunya... 

Segera tunaikan zakat dan bersedekah sebelum terjadi bala dan musibah karena bala bisa dcegah dengan sedekah 

Segera naik haji bagi yang mampu kalau tidak ingin matinya seperti orang yahudi 

Segera minta maaf agar tidak dbalas di akhirat... 

Segeralah menikah agar tidak terjadi fitnah bagi yang belum menikah

Jika telah selesai satu urusan maka kerjakanlah urusan berikutnya... 

SEGERALAH BERHIJRAH MENUJU KEBAIKAN

Hidup di dunia sungguh singkat sekali tanpa kita sadari dan tanpa kita rasakan
Sedangkan akhirat panjang dan kekal abadi 
Segeralah mencari bekal... 


Demi masa sesungguhnya manusia itu benar2 dalam kerugian kecuali orang beriman yang mengerjakan amal sholeh saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran...(QS Al Ashr 1_3) 

Semoga Allah menerima amal hambaNya yang beriman... 
Aamiin Allahumma aamin... 


- KH Muhammad Arifin Ilham -

Tuesday 5 April 2016

Belajar dari rasa Amarah dan Kebencian

Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah


Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat. Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari manusia …


Salah satu perkara yang selalu membuat kita lemah adalah timbulnya rasa amarah yang disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain.


ketika rasa itu muncul, Sangatlah kurang untuk kita fokus memperbaiki diri dan  bahkan selalu sibuk memikirkan kejelekan orang.

Perkara yang paling membahayakan dari rasa amarah adalah timbulnya penyakit hati seperti rasa Kebencian dan Dendam yang tanpa kita sadari itu akan tersimpan di memori kecil di otak kita.Oleh karena itu, ketabahan  menjadi satu keharusan.


{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).


{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu* (kaum), mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).


Perjalanan hidup di dunia banyak hal yang sangat menganggu pikiran dan hati kita baik itu Ujian, Cobaan ataupun Teguran dari sang Maha Pemilik. hal-hal inilah yang nantinya bakalan menguatkan kita atau sebagian bisa melemahkan kita, membuka atau mempersempit pikiran kita, ya bisa dibilang membentuk kepribadian kita menjadi lebih baik bahkan bisa buruk, semua tergantung ketetapan Hati, Keimanan dan Ketakwaan kita terhadap Allah SWT.


Kita pasti pernah kan mengalami hal2 tersebut ?


Memang yang namanya sabar itu susah, banyak sekali orang mengeluh tentang apa yang dideritanya, sampai2 mereka lupa cara menikmati dan mensyukuri hidup. Semua orang mudah sekali untuk meluapkan amarahnya, mereka cenderung menonjolkan sifat negatif ketimbang positif.
Tetapi 
menjadi orang sabar itu sulit dan mahal!


Kita sebagai manusia tentu pernah berada dalam keadaan yang membuat kita menjadi khilaf.


Cinta yg didasari oleh kesabaran dan ketulusan tak akan pernah ada batasnya. Meski mungkin pernah disakiti, ia selalu bisa memaafkan.


Tak ada cinta yang sempurna tanpa kesabaran, karena kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya cinta itu bertahan.


Kesabaran menunjukan kedewasaan kita, menunjukan seberapa bijaksana kita menanggapi suatu masalah.Tak ada kesalahan dalam kesabaran. karena dalam kesabaran ada pondasi kebaikan.


Ya Rabb'ku, Berikan aku, Istri-ku, Anak2ku, Orangtuaku, Adik2ku, Saudara2ku dan Teman2ku kesabaran yang tanpa batas. Kuatkan kami agar selalu bisa melewati setiap ujian dan cobaan dariMu.


Ya Rabb'ku, Kami takut atas teguran dan Azab dariMu.. Kami tak pantas masuk ke dalam SyurgaMu tapi kami juga takut masuk ke dalam NerakaMu.


Ya Rabb'ku, jadikanlah kami orang2 yang selalu bertaqwa dengan sebaik2nya Taqwa.


Ampuni segala Kesalahan, Khilaf dan Dosa2 kami.. baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja!

Ampuni segala Kesalahan, Khilaf dan Dosa2 kami.. yang nyata ataupun tidak nyata!

Ampuni segala Kesalahan, Khilaf dan Dosa2 kami.. yang besar maupun kecil!

Ampuni segala Kesalahan, Khilaf dan Dosa2 kami dari masa lalu, detik ini maupun yang akan datang!


Astaghfirullah-robbal-baroya, Astaghfirullah minal khothoya. Rabbi zidni ilman nafi’a, Wawaffiqli amalan maqbula, Wa habli rizqan wa-siaWatub alaina taubatan nasuha

Wednesday 5 August 2015

BANG PITUNG Tribute Art







































Bang Pitung Tribute Art - Lahirnya si Banteng Betawi!!
Line art by Yusuf Idris
Color by Bryan Valenza


Bang Pitung Tribute Art - 5 Pahlawan yang terlupakan
Line art by Garrie Gastonny
Color by Bryan Valenza







































"Clash of the Red and Blue"
Line art by Riska A Perdhana
Color by Bryan Valenza

 

The cover

Before Pitung, he was known as Solihoen


A loyal comrade. The partner on the battle. The bamboo master. Dji'ih


She is Aisyah. Pitung's lover


Expression and lighting study



“Battle of Maghrib”
Line art by Ian Waryanto
Color by Bryan Valenza



http://bryan-valenza.tumblr.com/
https://twitter.com/bryanvalenza



Traditional Indonesian Children's Games

Hompimpah – This is similar to suwit, but hompimpah is an alternative when you have more than two people. Suwit is meant for two people only and hompimpah is what we do when we have a bigger party. What you have to do is shake your right palm and say “Hom-pim-pah!” or “Hom-pim-pah alaium gambreng” together with your friends. Whichever you say doesn’t really matter actually, but the moment you say the last syllable of each, you need to give out your right palm, and it has to be facing up or down. The only one with a different side of the palm won (for example, other’s palms are facing up, and only one’s facing down, then the latter is the winner). The game would continue in order to find the runner-ups until there’s only two people left. The loser then would be determined with a suwit, or a three-times suwit. The one who lost in the suwit is the loser. My friends and I are still playing it sometimes, when we want to determine who’s the one unlucky enough to do the ‘seek’ part in ‘hide and seek.’

Petak umpet – Hide and seek! Yes, we play this too! We usually play this in a group of five to ten people, and the ‘seeker’ is determined after doing some hompimpahs and suwit. The seeker would then count to ten or even fifty, depends on the agreement with other friends and as you all know, would then seek his friends.

Sunda manda – The origin of this game is unknown but from budayaindonesia.org, rumor has it that this game originated in Netherland and the actual name is zondag-maandag. Make sense, though, since we used to belong to the Dutch. My friend told me that in East Java, this game is called ‘Engklek.’ Anyway, before playing, we would usually draw these on a flat concrete:
After that, we would pick a stone, or a marble, or a chunk or a small piece of a roof. This is called ‘gancuk.’ As this game is meant for at least 2 people, each person would have their own gancuk. The gancuk would then be thrown into each of the square in order (from no. 1 to no. 5), and the owner of the gancuk would have to hop one-footed through the squares, from no. 1 to no. 5 and then return back from no. 5 to no. 1. The only times player could use both feet is when they hop into no. 3 and 4, with each foot in each square. However, the players must not hop into the square where their own gancuk is on. On the way back later from no. 5, they could take their own gancuk when their foot is in the square before their gancuk’s square. If they succeed hopping through the squares without falling, or stepping on the line, as well as stepping or accidentally hitting other players’ gancuk, they could continue by throwing the gancuk to the next square (no. 2 and so on). If their gancuk fall outside the intended square, or fall on the line of the squares, they would have to skip their turn. The same thing applies when the players fall or stepping on the line or hitting others’ gancuk.
When a player’s gancuk manage to finish all the squares, the next stage would be optional, if I had not mistaken. The player could redo all over again, but this time, they would have to throw their gancuk without facing the squares. After their gancuk, again, finish all the squares, this player would then have a privilege to have their own square, or house by throwing their rock into the squares. The square then would be marked with a star. This house could then be used by the owner to rest their feet and they have the privilege to step on their house with both feet. Other players, however, are not supposed to step on the house. The winner is the player who manage to own most of the squares.
Galah asin – or what I know as Gobak Sodor. Frankly speaking, I  am not very familiar with this game, because I didn’t play this very often. But this game is usually played in groups of 3 to 5 people. One team would have to block the other team to reach their destination, by moving only vertically or horizontally to catch the people from the opponent’s group. When all team members manage to reach their destination, they would be declared winner. To make it easier, the game is usually played in a tennis court since the field has many lines drawn already, which would make it easier for the blocking team to determine their position and their movement range.

Ular Naga (Hydra–but with only one head) – Boy, don’t I love this game. It’s for at least 4 to 5 people, with 2 persons standing in front of each other and holding each others’ hand up high to serve as ‘the gate.’ The rest of the kids would then form a ‘snake’ by forming a long line (the longer the better, I guess), and walking around in circle, passing ‘the gate.’ As they walk around, though, they would need to sing this song: “Ular naga panjangnya bukan kepalang…Menjalar-jalar selalu kian kemariUmpan yang lezat, itulah yang dicariIni dianya yang terbelakang! (A hydra so long in its shape...Always creeping here and there...Looking for its tasty prey...Here it is, the one left behind!)
With the last line, persons serving as the gate would then lower their hand, catching whoever is coincidentally passing right through them, as that person itself would rush passing the gate so he/she wouldn’t be caught. The explanation inbudayaindonesia.org stated that the ‘prey’ would then have to choose to join the left part of the gate or the right part. The one with most followers would then win and the one losing would have to catch the winner’s followers at the back of the line. I rarely managed to finish the game most of the time, so I only have a very vague memory of this last part, but I miss this game, really.

Congklak – or also known as Dakon in other parts in Indonesia. I myself first know this game as ‘Congklak’ instead of ‘Dakon’. This game is rather expensive compared to the other games, because this game would require a Dakon or Congklak board. On the board, there are 8 pairs of small holes and two big holes at each edge of the board. Each hole, other than the two big holes, would be filled with 7 marbles, or shells. As this game is meant for two people only, each player would own one big hole on her left. The 2 players would play in turn, by taking out all marbles from one of the holes on her side (the marbles from the opposite side belong to the opponent), and then dropping the marbles one by one to the hole on the left side, and then move on to the next hole the left side, and so on. She should drop one marble when she passes her own big hole and skip the opponent’s big hole. When the last marble falls on any small hole with marbles, the player could still continue by taking the last marble along with the marbles on that hole and continue to the next hole until the last marble is finally dropped into an empty small hole. Then the opponent would then take turn and play exactly the same way. But when the last marble falls on an empty small hole on her side, and on the opposite hole there’s a marble, or even plenty of marbles, she would be able to take the opponent’s marbles and move them into her big hole. After all the marbles on the small holes are finally moved into the big holes, the one with most marbles won the game. Oh, did I tell you already that the players do a suwit first to determine who’d start first?

Tuesday 21 April 2015

Aku adalah wadah yang di tempa oleh rasa sakitku

Aku ini hanya seorang hamba yg tak tahu apa-apa.
Aku bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa
Aku hanya mencoba utk merenungi diri, mensyukuri atas segala nikmat yg berlimpah yg telah dikaruniakan oleh-MU dan mencoba untuk tetap bersyukur dalam mencari ridho-MU.
Agar senantiasa mendapat rahmat dan hidayah dari-MU ya Rabb'ku...!



BUKALAH JENDELA HATI KITA UNTUK MENERIMA SETIAP KEBENARAN WALAU DARI MANAPUN IA DATANG.
KATA DEMI KATA YG TERSUSUN AKAN SANGAT MUDAH DIPAHAMI DAN DIMENGERTI.
BILA KITA MAU SEJENAK MERENUNGKANNYA!
INGATLAH, BAHWA WARNA BISA LUNTUR, CANDI BISA RETAK, KEKUASAAN BISA JATUH,
TETAPI KATA-KATA BIJAK, AKAN TETAP ABADI SEPANJANG ZAMAN

'ANTON CHARLY'

Monday 20 April 2015

BUKAN MAKSUDKU UNTUK MENINGGALKANMU

Malam benderang berhiaskan bulan. Seorang anak berdiri di balkon sebuah rumah, berpangku-tangan menatap dan mengagumi langit. Namun sayang,...bintang hanya sedikit bersinar. Sang anak melihat ke sekeliling, mencari bintang lain. Hanya dua. Hanya ada dua bintang di langit. Itu pun tidak sepenuhnya bintang, salah satu diantaranya adalah planet Venus.

Sang anak kemudian bertanya, “Wahai bintang, apa yang terjadi padamu? Pada kalian? Pergi ke mana gerangan seluruh temanmu?” Anak itu berbisik sedih. Dahulu langit berkilau tiada tara, bermandikan cahaya bintang, dengan bulan tersenyum anggun menaungi. Dahulu bintang-bintang menemaninya bercanda dan tertawa di kala kesepian datang berkunjung di malam hari. Dahulu bintang-bintang akan menjaga dan mengawasinya kala ia lelap terbuai alunan nada mimpi. Namun sekarang hanya sedikit bintang berdendang, memainkan cahaya dengan genit. Bahkan nyaris tidak ada.


Tiba-tiba, tanpa disangka oleh gumaman hati, sang bintang menjawab dengan lirih,......
“wahai anakku sayang, bukan maksudku untuk meninggalkanmu seorang diri bermandikan kegelapan. Tidak, aku tetap menyayangimu. Namun apa mau dikata, satu per satu sudah kehilangan zat hidupnya.”

Anak itu tertegun, diam membisu. Wajahnya berkerut, tanda ia sedang berpikir keras memproses perkataan sang bintang cemerlang. “Apa maksudmu, bintang oh bintang?”

“Aku, bintang, hanyalah dari manusia, nak. Aku ada dan tercipta, itu semua hanyalah symbol, symbol dari harapan kehidupan manusia.”
“Maksudmu manusia sekarang sudah tidak memiliki harapan hidup?” Mendengar pertanyaan polos itu, bintang hanya dapat tersenyum pedih. Sinarnya berpendar redup, sudah tidak lagi kuat menyinari langit tanpa ditemani teman-temannya.

“Lalu, mengapa planet venus tetap bersinar terang sebagaimana
layaknya bintang? Apakah dia juga merupakan symbol seperti kau, bintang?”

“Semua, kami benda di langit adalah symbol yang merepresentasikan kalian manusia… Iya, sebagaimana katamu tadi, wahai anakku sayang, planet Venus memang merupakan symbol seperti kami para bintang.”
“Kau belum menjawabku, bintang cemerlang, mengapa Venus bersinar, tak seperti kalian bintang yang perlahan menghilang?”
“Seperti kukatakan tadi, aku dan para bintang merepresentasikan harapan kehidupan kalian, manusia. Venus, dia melambangkan cinta. Tidak peduli seperti apa perkembangan peradaban kalian sekarang, kalian manusia tetap akan mendambakan cinta, kalian akan tetap memuja dan mencintai cinta.
Cinta di hati kalian tidak akan pernah sirna, hingga kapan pun. Walaupun memang, dari atas sini, kami mampu melihat perang yang terjadi, berkecamuk kejam membantai dan membabat setiap jiwa hingga tercecer tak bertuan lagi. Namun kami, terutama Venus, merasakan dan menyadari, sekejam apa pun kalian manusia bisa menjadi, tetap ada sepercik rasa di hati kalian untuk ingin dicintai dan mencintai. Aku rasa kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu, nak…”

“Lalu bagaimana dengan bulan? Dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu dan selalu berganti-ganti…”

“Bulan… Bulan melambangkan kalian manusia, tidakkah kau menyadari hal itu, nak?”
“Tetapi dia melambangkan apa? Dia hanya ada satu, tidak banyak layaknya kalian, kau, wahai bintang benderang…”
“Bulan melambangkan manusia dengan dirinya. Selalu bergerak dan berubah. Terkadang yakin dan penuh tekad sebagaimana bulan purnama, seringkali ragu dan malu layaknya bulan sabit. Bahkan kadang menghilang untuk merenung dan berpikir layaknya bulan baru. Itulah kalian dengan diri kalian, wahai manusia…”

“Wahai bintang, kalau begitu tolong jelaskan kepadaku makna daripada keberadaanmu. Kau hanya berkata kalian para bintang menggambarkan harapan kehidupan manusia… Apakah berarti kau menggambarkan jiwa manusia?”

Sang bintang menarik napas panjang sebelum memulai, tentu hal ini berat baginya untuk dikatakan. Mengingat bagaimana hal ini tentunya menyangkut dengan dirinya, sebagaimana ia yakin usianya tak akan lama lagi.
Akhirnya dengan senyum pahit, bintang mulai menjelaskan, “Aku dan para bintang, merepresentasikan harapan kehidupan kalian manusia. Bukanlah menggambarkan jiwa kalian, tidak.
Namun harapan kehidupan. Sekarang ini, sudah banyak manusia yang telah kehilangan harapan akan kehidupan. Mereka hanya merencanakan dan merencanakan masa depan.
Mereka berpikir mereka harus mengendalikan masa depannya, bahwa masa depan itu tidak pernah ada bila tidak mereka rancang. Mereka tidak pernah benar-benar hidup. Bagi mereka, merancang masa depan adalah suatu hal untuk tetap menghidupkan mereka, tetapi mereka salah, nak, mereka salah...!
Mereka itulah sang pemimpi, merekalah yang tidak melihat kenyataan.

“Aku beri tahu kau suatu rahasia, nak, masa depan itu memang tidak ada, tidak pernah ada. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba, masa depan hanyalah sebuah angan-angan.
Saat inilah yang terpenting!
Saat inilah realita yang harus dihadapi. Namun inilah yang mereka hindari. Mereka mempersiapkan diri untuk masa depan, tetapi mereka kemudian tidak melakukan apa pun untuk saat ini, masa-masa yang mengikat dan menghantam, tetapi tak dihiraukan karena sakit yang ditimbulkannya.
Manusia sekarang hanyalah merencanakan masa depan, alih-alih menjalani masa kini. Mereka tidak lagi percaya pada harapan yang luas terbentang di depan mata mereka, sebagaimana apa yang masih kau lihat, nak… Itulah harapan kehidupan, disimbolkan oleh kami para bintang.”

Anak itu menunduk, ia berpikir keras. Ia tidak mau kehilangan sang bintang yang selalu menemaninya. Baginya bintang adalah sahabat yang tak terkatakan. “Bintang, apakah kau akan selalu ada di sini untukku? Apakah kau berjanji untuk tidak meninggalkanku sendirian?” Tanya anak itu dengan pilu, air mata sudah mulai menggenangi matanya. Rasa takut akan kesepian terlukis dengan jelas di bola matanya yang bulat dan besar.

Sekali lagi, sang bintang hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan polos lain dari anak itu. Bintang hanya bisa menjawab tanpa benar-benar memenuhi pertanyaan tersebut, “aku akan berada di sini untuk beberapa lama, tetapi aku akan menjadi bintang terakhir yang kau lihat untuk beberapa tahun lagi…”

Lama waktu berlalu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Sudah berpuluh-puluh musim terlewati. Terlewati begitu saja tanpa kesan yang benar-benar berarti. Langit di pagi hari tetap secerah biasanya, matahari yang tertawa bersama awan memancarkan sinarnya di seluruh penjuru dunia, memanaskan setiap titik yang bisa disentuhnya. Namun satu hal yang berubah, langit di malam hari sudah tidak pernah sama lagi. Tiada lagi bisik-bisik kecil nan genit dari para bintang yang berdendang. Tiada lagi kilau cemerlang mengagumkan menaburi langit. Sekarang hanya tinggal bulan dan Venus, berselimutkan gelap gulita dari malam, serta karpet berkilau dari lampu-lampu jalanan hasil peradaban manusia.

        salam
.:Bintang Malam:.

"FITNAH" lebih kejam daripada pembunuhan?


Allah Ta’ala berfirman:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 191)
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS Al-Baqarah: 217)

Sebagian kalangan mentafsirkan ayat ini layaknya mentafsirkan bahasa Indonesia. Yaitu, fitnah yang berarti tuduh-menuduh itu lebih keji dan kejam daripada pembunuhan. Daalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.3) ketika kita meng-entri kata “fit·nah”, maka akan kita dapati demikian
“perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dng maksud menjelekkan orang (spt menodai nama baik, merugikan kehormatan orang): – adalah perbuatan yg tidak terpuji;
mem·fit·nah atau menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dsb.”
Maka ketika terjadi pertikaian berupa tuduh-tuduhan yang tidak mengenakkkan, orang dituduh akan serta-merta mengeluarkan dalil firman Allah di atas. “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”
Namun benarkah demikian makna fitnah yang diinginkan Allah dalam ayat ini? Ataukah ada makna lainnya?
Baiklah, agar supaya kita tidak terjerumus ke dalam ancaman, “Siapa yang berkata tentang Al-Quran dengan akalnya (dalam riwayat lain: dengan sesuatu yang tidak ia ketahui), maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka,” mari kita telusuri pendapat para ulama yang pakar dalam disiplin ilmu tafsir.
Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahak, dan Ar-Rabi’ bin Anas berpendapat tentang firman-Nya, “Dan fitnah itu lebih dahsyat dari pembunuhan,”: “Kemusyrikan itu lebih dahsyat daripada pembunuhan.”

Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani Asy-Syafi’i –rahimahullah- menjelaskan dlam tafsirnya (I/64), “{Dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan}, yaitu ujian yang dengannya seseorang teruji seperti dikeluarkan dari tanah air, itu lebih berat daripada pembunuhan. Sebab, susahnya lebih lama dan sisa sakitnya lebih lama. Ada yang berpendapat: kemusyrikan kalian terhadap Allah dan peribadatan kepada berhala-berhala di tanah haram itu serta pencegahan kalian terhadap kaum muslimin darinya (baca: dari tanah haram) lebih jelek daripada kalian membunuh mereka di dalamnya.”
Berkaitan dengan ayat ke-217, Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir menjelaskan:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ أي قد كانوا يفتنون المسلم في دينه حتى يردوه إلى الكفر بعد إيمانه فذلك أكبر عند الله من القتل
“{Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}, artinya mereka telah menganggu agama seorang muslim sehingga mereka mengembailkanya kepada kekufuran setelah keimanannya, maka yang demikian itu lebih besar (dosanya) menurut Allah.”

Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan, “{Dan fitnah itu} yaitu kemusyrikan yang melekat pada kalian itu {lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}.”
Al-‘Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qinnuji Al-Bukhari –rahmatullah ‘alaih- menjelaskan, “{Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan}. Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah kekufuran dan kemusyrikan. Yang mengatakan demikian adalah Ibnu ‘Umar. Artinya, kekufuran kalian itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan yang kalian lancarkan kepada sarriyyah (pasukan perang yang tidak diikuti Nabi) yang diutus oleh Nabi –shallallahu ‘alahi wa sallam-. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud fitnah di sini adalah mengeluarkan penduduk Makkah darinya (baca: dari Makkah). Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah gangguan yang mereka lancarkan terhadap agama mereka (kaum muslimin) sehingga mereka binasa, maksudnya fitnah yang ditujukan kepada orang-orang lemah dari kalangan kaum mukminin, fitnah yang sama dengan fitnahnya kaum kuffar yang tengah mereka pijaki.” (Fat-h Al-Bayan ‘an Maqashid Al-Quran I/436)
Sampai di sini kita dapat menyadari tidak ada satu pun ulama pakar tafsir yang memahami fitnah di sini sebagaimana yang dipahami oleh sementara sebagian kalangan. Dan perlu diketahui bahwa fitnah dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa ‘Arab. Fitnah dalam bahasa Indonesia biasa diwakili kata “buhtan” dalam bahasa ‘Arab. Sedangkan fitnah dalam bahasa ‘Arab memiliki arti yang tidak sedikit. Di antaranya adalah: cobaan, ujian, musibah, azab, dan selainnya.
Allahua’lam.